Selasa, 28 April 2015
Gara-Gara Cukur Bulu Kemaluan
Untuk membentuk agar bulu
kemaluanku tumbuh dengan
rapih, suatu hari timbul niat
isengku untuk mencukur total.
Kusiapkan alat-alat dahulu
sebelum kumulai aksinya. Mulai
dari gunting, kaca cermin, lampu
duduk, dan koran bekas untuk
alas agar bekas cukuran tidak
berantakan kemana-mana.
Kupasang cermin seukuran buku
tulis tepat di depan kemaluanku
untuk melihat bagian bawah
yang tidak terlihat secara
langsung. Tidak lupa pula
kunyalakan lampu duduk di
antara selangkanganku. Kumulai
pelan-pelan, kugerakkan pisau
cukur dari atas ke bawah.
Baru mulai aku menggoreskan
pisau cukur itu, aku dengar
suara langkah masuk ke
kamarku, segera aku lihat
bayangan di kaca buffet, tidak
jelas benar, tapi aku bisa
menebaknya bahwa dia adalah
si Eni, kemenakan dari ibu kost.
Aku bingung juga, mau
membereskan perangkat ini
terlalu repot, tidak sempat.
Memang aku melakukan
kesalahan fatal, aku lupa
mengunci pintu depan ketika
kumulai kegiatan ini. Akhirnya
dalam hitungan detik muncul
juga wajah si Eni ke dalam
kamarku. Dalam waktu yang
singkat itu, aku sempat meraih
celana dalamku untuk menutupi
kemaluanku. Sambil meringis
berbasa-basi sekenanya.
"He... he... ada apa En..?" sapaku
gelagapan.
"Eh, Mas Adi lagi ngapain..?"
kata Eni yang nampaknya juga
sedang menyembunyikan
kegugupannya.
Si Eni memang akrab dengan
saya, dia sering minta bimbingan
dalam hal pelajaran di
sekolahnya. Khususnya pada
mata pelajaran matematika
yang memang menjadi
kegemaranku. Eni sendiri masih
sekolah di SMU. Berkata jorok
memang sering kami saling
lakukan tetapi hanya sebatas
bicara saja. Apalagi Eni juga
menanggapinya, dengan
perkataan yang tidak kalah
joroknya. Tapi hanya sebatas
itulah.
Kembali pada adegan tadi,
dimana aku tengah kehabisan
akal menanggapi kehadirannya
yang memergokiku sedang
mencukur bulu kemaluan.
Akhirnya kubuka juga kekakuan
ini.
"Enggak apa-apa En, biasa...
kegiatan rutin."
"Apaan sih..?"
"Eni sudah berusia 17 tahun
belum..?"
"Emangnya kenapa kalau
udah..?" kata Eni masih berdiri
dengan canggung sambil terus
menatapku dengan serius.
"Gini En, aku khan lagi nyukur ini
nih, aku minta tolong kamu
bantuin aku. Soalnya di bagian
ini susah nyukur sendiri..."
kataku sambil kuulurkan pisau
cukur padanya.
"Mas Adi, ih..!" tapi ia terima
juga pisau cukurnya, sambil
duduk di dekatku.
Aku angkat celana yang tadi
hanya kututupkan di atas
kemaluanku.
"Eni tutup dulu pintunya yach
Mas..?"
Dia menutup pintu depan dan
pintu kamar. Sebenarnya masih
ada pintu belakang yang
langsung menuju ke dapur
rumah induk. Namun pada jam
segini aku yakin bahwa tidak
ada orang di dalam. Selesai Eni
menutup pintu, dia agak kaget
melihat kemaluanku terbuka,
sambil menutup mulutnya ia
meminta agar aku menutupnya.
"Tutup itunya dong..!" katanya
dengan manja.
Aku katupkan kedua pahaku,
batang kemaluanku aku
selipkan di antaranya, sehingga
tidak terlihat dari atas,
sedangkan bulunya terlihat
dengan jelas.
"Nah begini khan nggak
terlihat..." kataku, dan Eni
nampaknya setuju juga.
Eni ragu-ragu untuk
melakukannya, namun segera
aku yakinkan.
"Nggak apa-apa En, kamu khan
sudah 17 tahun, berarti sudah
bukan anak-anak lagi, lagian
khan cuman bulu, kamu juga
punya khan, udah nggak apa-
apa. Nanti kalau aku sakit, aku
bilang deh.."
"Bukannya apa-apa, aku geli hi..
hi.." sambil cekikikan.
Dengan super hati-hati dia
gerakkan juga pisau cukur mulai
menghabisi bulu-bulu
kemaluanku. Karena terlalu
hati-hatinya maka ia harus
melakukannya dengan
berulang-ulang untuk satu
bagian saja.
Sentuhan-sentuhan kecil
tangannya di pahaku mulai
menimbulkan getaran yang
tidak bisa kusembunyikan. Dan
ini membuat kemaluanku
semakin tegang, tidak hanya
itu, hal ini juga menyebabkan
siksaan tersendiri. Dengan posisi
tegang dan tercepit di antara
pahaku menjadikan kemaluanku
semakin pegal. Sampai akhirnya
tidak bisa kutahan,
kukendorkan jepitan kedua
pahaku, sehingga dengan cepat
meluncurlah sebuah tongkat
panjang dan keras mengacung
ke atas menyentuh tangan Eni
yang masih sibuk
mempermainkan pisau cukurnya.
Begitu tersentuh tangannya
oleh benda kenyal panas
kemaluanku, dia kaget dan
hampir berteriak.
"Oh, apa ini Mas..? Kok dilepas..?"
katanya gugup ketika
menyadari bahwa batang
kemaluanku lepas dari jepitan
dan mengarah ke atas.
"Iya En. Habis nggak tahan.
Nggak apa-apa deh, dihadapan
cewek harus kelihatan lebih
gagah gitu.."
"Mas Adi sengaja ya..?"
"Suer.., ini cuma normal."
Eni masih memperhatikan
kemaluanku yang sudah besar
dan kencang dengan wajah
yang sulit digambarkan. Antara
takut dan ingin tahu. Lalu dia
raih kain yang ada di dekatku
untuk menutupinya.
"Kenapa ditutup En..?"
"Aku takut, abis punya Mas Adi
besar banget.""Emangnya Eni
belum pernah melihat kemaluan
laki-laki..?" tanya saya.
Eni diam saja, tapi digelengkan
kepalanya dengan lemah.
"Ayo deh diteruskan," bisikku.
Kali ini Eni menjadi super hati-
hati mencukurnya. Mungkin
takut tersentuh kemaluanku.
Sedangkan aku sangat ingin
tersentuh olehnya. Tapi aku
khawatir dia semakin takut
saja. Akhirnya kubiarkan saja
dia menyelesaikan tugasnya
dengan caranya sendiri.
Akhirnya harapanku sebagian
terkabul juga. Ketika Eni mulai
mencukur bulu bagian samping
kemaluanku, mau tidak mau dia
harus menyingkirkan
kemaluanku.
"Maaf ya Mas..!" dengan tangan
kirinya ia mendorong
kemaluanku yang masih
tertutup kain bagian atasnya
ke arah kiri, sehingga bagian
kanannya agak leluasa. Untuk
lebih membuka areal ini, aku
rebahkan tubuhku dan
kubentangkan sebelah kakiku.
Eni dengan sabar memainkan
pisau cukurnya membersihkan
bulu-bulu yang menempel di
sekitar kemaluanku, nafasnya
mulai memburu, dan kutebak
saja bahwa dia juga sedang
horny. Walaupun masih dengan
ragu-ragu dia tetap memegang
kemaluanku. Didorong ke kiri, ke
kanan, ke atas dan ke bawah.
Aku hanya merasakan
kenikmatan yang luar biasa.
Tanpa kusadari kain penutup
kepala kemaluanku sudah
tersingkap, dan ini nampaknya
dibiarkan saja oleh Eni, yang
sekali-kali melirik juga ke arah
kepala kemaluanku yang mulus
dan besar itu.
Lama-kalamaan, Eni semakin
terbiasa dengan benda
menakjubkan itu. Dengan
berani, akhirnya dia singkapkan
kain yang menutup sebagian
kemaluanku itu. Dengan terbuka
begitu, maka dengan lebih
leluasa dia dapat menyantap
pemandangan yang jarang
terjadi ini. Aku diam saja,
karena aku sangat
menyukainya serta bangga
mendapat kesempatkan untuk
mempertontonkan batang
kemaluanku yang lumayan
besar.
"Udah bersih Mas..."
Kulihat kamaluanku sudah
pelontos, gundul. Wah, jelek
juga tanpa bulu, pikirku.
"Di bawah bijinya udah belum
En..?" aku pura-pura tidak tahu
bahwa di daerah itu jarang ada
bulu.
Lalu dengan hati-hati ia
sigkapkan kedua bijiku ke atas.
Uh, rasanya enak sekali.
"Udah bersih juga Mas..." ia
mengulanginya.
Katanya datar saja.
Menandakan bahwa hatinya
sedang ada kecamuk. Aku tarik
lengannya, dan dengan sengaja
kusenggol payudaranya, dan
kukecup keningnya.
"Terima kasih ya En..!"
Tanpa kusadari, sejak dia
memberanikan diri mencukur
bulu kemaluanku tadi, buah
dadanya yang berukuran
sedang terus menempel pada
dengkulku. Begitu kukecup
keningnya, dia diam saja,
mematung sambil menundukkan
mukanya. Lalu kuangkat
dagunya dan kucium bibirnya,
kupeluk sepuas-puasnya.
Keremas paudaranya dan
nafasnya makin memburu. Aku
raih kemaluannya tapi dia diam
saja, kuselipnkan satu jarinya
dari sela-sela celana dalamnya.
Wah, ternyata sudah basah
bukan main. Namun Eni segera
terkejut, dan melepaskan diri
dariku. Disun pipiku, dan dia
segera lari ke rumah induk
lewat pintu belakang.
Aku benar-benar puas,
kupandangi tampang kemaluan
gundulku yang masih tegak.
"Suatu saat nanti engkau akan
mendapat bagiannya..." kataku
dalam hati.
Sejak peristiwa itu, kami
memang tidak pernah bertemu
dua mata dalam suasana yang
sepi. Selalu saja ada orang lain
yang hilir mudik di kamarku.
Sampai akhirnya liburan datang
dan kami semua masing-masing
pulang kampung untuk
beberapa waktu. Liburan
sekolah sudah selesai, Eni sudah
datang lagi setelah berlibur ke
rumah orang tuanya di
Tabanan, Bali. Begitu juga aku
yang datang sebelum masa
kuliahku dimulai.
Waktu itu hujan deras. Eni masih
berada di kamarku (suasananya
sepi karena tidak ada orang
sama sekali, termasuk di rumah
induk) untuk minta bimbingan
atas pelajarannya. Begitu
selesai, Eni menyandarkan
tubuhnya ke dadaku sambil
berkata.
"Mas, itunya sudah tumbuh lagi
belum..? Hi... hi..." sambilnya
ketawa cekikikan.
"Oh, itu..? Lihat aja sendiri."
sambil kupelorotkan celana
pendekku sampai lepas, dan
kemaluanku yang masih lunglai
menggantung.
"Mas Adi ih, ngawur..." katanya.
Tapi walaupun demikian, ia
santap juga pemandangan itu
sambil menyibakkan sebagian T-
Shirt-ku yang menutupi daerah
itu. Bulu-bulu yang sudah rapih
memenuhi lagi sekitar
kemaluanku, segera terlihat
dengan jelas.
"Nah, begitu khan lebih oke..."
katanya.
"Aku kapok En, nggak mau
nyukur plontos lagi."
"Kenapa Mas..?"
"Waktu mau numbuh. Bulunya
tajam-tajam dan itu menusuk
batangku."
"Habis Mas Adi sukanya macem-
macem sih..!" sambil terus
memandang kemaluanku yang
masih tergantung lunglai, "Mas,
kok itunya lemes sih..?"
"Iya En, sebentar juga gede,
asal diusap-usap biar seneng."
"Ah Mas Adi sih senengnya enak
terus."
Walaupun berkata seperti itu,
mau juga Eni mulai memegang
kemaluanku dan digerak-
gerakkan ke kanan dan ke kiri.
Membuat batang kemaluanku
semakin besar, keras dan
mengacung ke atas. Eni makin
menyandarkan kepalanya ke
dadaku. Dan langsung saja saya
peluk dia, sedemikian rupa
hingga payudaranya tesentuh
tangan kiriku. Rupanya Eni tidak
pakai BH, sehingga kekenyalan
payudaranya langsung terasa
olehku. Kupermainkan
payudaranya, aku pencet,
menjadikan Eni terdiam seribu
bahasa tetapi nafasnya semakin
cepat. Demikian pula Eni dengan
hati-hati memainkan
kemaluanku, masih terus
dibolak-balik, ke kanan dan ke
kiri.
Aku cium bibir Eni, dan dia
menanggapinya dengan tidak
kalah agresifnya. Barangkali
inilah suatu yang ditungu-
tunggu. Aku lepas blouse-nya,
dan payudaranya yang masih
kencang dan mulus dengan
putingnya yang kecil berwarna
coklat muda segera
terpampang dengan jelas.
Karena tidak tahan, aku
langsung menciuminya. Hal ini
menjadikan Eni semakin
menggeliatkan tubuhnya,
tandanya dia merasa nikmat.
Aku ikuti dia ketika dia
mambaringkan tubuhnya di
tempat tidur. Aku hisap-hisap
putting payudaranya,
sementara rok dan celananya
kupelorotkan. Eni setuju saja,
hal ini ditunjukkan dengan
diangkatnya pantat untuk
memudahkanku melepaskan
pakaian yang tersisa.
Begitu pakaian bagian bawah
terlepas, segera tersembul
bukit mungil di antara
selangkangannya, rambutnya
masih jarang, nyaris tidak
kelihatan. Sekilas hanya terlihat
lipatan kecil di bagian
bawahnya. Pemandangan ini
sungguh membuat nafsuku
semakin memuncak. Begitu
kuraba bagian itu, terasa
lembut. Makin dalam lagi barulah
terasa bahwa dia sudah banyak
berair. Eni masih merem-melek,
tangannya tidak mau lepas dari
kemaluanku. Begitu pula ketika
kulepas pakaianku. Tangan Eni
tidak mau lepas dari alat vitalku
yang semakin keras saja.
Begitu aku sudah dalam
keadaan bugil, aku kembali
mempermainkan kemaluannya,
ketika jari tengahku mau
memasuki vaginanya yang
sudah banjir itu. Pinggulnya
digoyangkannya tanda
mengelak, aku hampir putus
asa.
Tetapi kudengar suara
manjanya, "Jangan pakai
tangan Mas. Pakai itu saja."
sambil menarik-narik alat
vitalku ke arah vaginanya.
Aku segera mengambil posisi.
Tangan lembutnya
membimbingnya untuk memasuki
arah yang tepat. Kugosok-
gosokkan sebentar di bibir
vaginanya yang berlendir itu.
Rasanya nikmat sekali. Setelah
kurasa tepat berada di ambang
lubangnya, aku dorong sedikit,
agar bisa memasukinya. Tapi
nampaknya tidak mau masuk.
Aku coba sekali lagi, tidak mau
masuk juga.
"Kamu masih perawan En..?"
akhirnya aku tanya dia.
Diantara jelita dan wajahnya
yang sudah seperti tidak sadar
itu, aku lihat kepalanya
menggeleng dan itu adalah
suatu jawaban.
Usaha menembus lubang
kenikmatan itu aku tunda dulu.
Operasiku berpindah dengan
memagut-magut seluruh
tubuhnya. Eni semakin
terengah-engah menerima
perlakuanku. Erangan-erangan
yang terkesan liar semakin
membuatku bernafsu. Aku
kecup putingnya, perutnya, dan
pahanya. Ketika aku mengecup
pahanya, sepintas aku lihat
vaginanya menganga, semburat
warna merah tua yang licin
sungguh menarik perhatianku.
Jilatanku makin dekat ke arah
vaginanya. Begitu lidahku
menyentuh bibir kemaluannya,
Eni berteriak kelojotan sambil
menggeleng-gelengkan
kepalanya. Aku semakin
bersemangat menjilatinya.
Setelah kurasa jenuh, dan
kehabisan variasi menjilati
vaginanya. Kembali kuarahkan
kemaluanku ke arah barang
yang paling dilindungi wanita ini.
Kembali tangan Eni membimbing
kemaluanku. Setelah tepat di
depan gerbang kenikmatan, aku
dorong sedikit.
"Bless..."
Kepala kemaluanku bisa masuk
sedikit, Eni meringis, tapi terus
menekan bokongku. Maksudnya,
jelas agar aku masuk lebih
banyak lagi. Aku dorong lagi,
tetapi lubangya terlalu sempit.
Walaupun hanya kepala saja
yang masuk, tetapi aku
berusaha memaju-mundurkan,
agar gesekan yang nekmat itu
terasa. Setelah beberapa kali
aku memaju-mundurkan, sekali
lagi aku dorong lebih dalam lagi.
Berhasil..! Kini kemaluanku sudah
sepertiga berada di dalamnya.
Aku berusaha sabar, aku
gerakkan maju mundur lagi.
Setelah beberapa kali, aku
mendorong lagi. Begitulah
kulakukan berulang-ulang
sampai semua kemaluanku
tertelan dalam remasan
vaginanya. Kudiamkan untuk
sesaat di dalam, kurasakan
denyutan-denyutan yang
sangat nikmat yang membuat
seluruh tubuhku mengejang.
Kugerakkan lagi bokongku
dengan arah maju-mundur.
Tanpa kusangka, Eni menjerit
sambil mengejang.
"Terus Mas... terus Mas... aku
sampaaiii... ouh... ouh..." jeritan
itu lumayan keras.
Aku segera tutup mulutnya
dengan bibirku. Bersamaan
dengan itu, kemaluanku terasa
diremas-remas. Ujung
kemaluanku seakan menyentuh
dinding yang membuatku
merasa geli bukan main.
Akhirnya aku tidak tahan juga
untuk mengeluarkan spermaku
ke dalam liang kewanitaannya.
Beberapa semprotan agaknya
semakin menjadikan Eni semakin
liar dan semakin meregangkan
tubuhnya. Kami orgasme
bersama-sama, dan itu sangat
meletihkan. Dan aku tidak ingin
cepat-cepat melupakan fantasi
yang hebat itu. Kami tertidur
untuk beberapa waktu.
Begitu aku bangun, rupanya Eni
sudah tidak ada. Yang ada
hanyalah secarik kertas
menutupi kemaluanku dengan
tulisan, "YOU ARE THE GREAT".
Sejak saat itu, kami selalu
melakukannya secara rutin dua
minggu sekali, paling lama
sebulan sekali. Namun tidak
melakukan di rumah tetapi
kubawa ke hotel di luar kota
secara berganti-ganti yang
kemungkinan kecil untuk
diketahui oleh orang yang kami
kenal. Sampai akhirnya, kami
berpisah. Aku lulus dan diterima
kerja di luar kota. Eni kuliah di
kota yang jauh sekali dari
tempatku berada. Kalau ia
membaca tulisan ini, maka ia
akan bersyukur karena
namanya sudah aku samarkan.
Sekedar untuk mengingatkan
saja ketika kami begituan,
kemaluannya kujuluki TEMBEM.
Dan ia menyebut kemaluanku
dengan julukan TOLE (mungkin
dari kata KONTOLE).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar